Pisang Epe Daeng Sollong

pisang epe daeng sollong

Salah satu sajian yang sering dinikmati di tepi pantai losari adalah Pisang Epe. Penganan dari pisang mengkal yang diberi gula tambahan. Dan ini ceritaku, tentang seorang penjaja Pisang Epe.

Pantai Losari

Matahari hampir saja tenggelam di kaki langit sebelah barat. Anjungan pantai losari dijejali ratusan bahkan ribuan orang. Memang hari minggu, pada penanggalan 9 November 2008 lalu, salah satu partai politik baru, sedang mengadakan acara jalan santai. Namun, saya yakin beberapa orang lainnya berkunjung ke tempat ini bermaksud lain. Mereka mungkin hendak mengisi hari liburnya untuk menikmati indahnya selat makassar menelan mentari.

Pantai Losari memang masih menjadi pilihan favorit di Makassar untuk menikmati sunset. Semburat jingga yang dihasilkan mentari berpadu dengan warna biru langit kemudian direfleksikan di atas permukaan laut memang menjadi pemandangan yang sangat eksotik.

Pisang Epe

Pemandangan itu makin terasa lengkap ketika ditemani sepiring pisang epe, sebuah makanan khas Makassar. Pisang mengkal yang di bakar lalu dipipihkan dan disiram gula merah cair dan kelapa parut yang kadang mengandung sedikit durian. Perpaduan bahan tersebut begitu menyesap dilidah. Garingnya pisang mengkal yang telah di bakar dan dipipihkan dipadu dengan gurihnya kelapa parut serta manisnya gula merah cair ditambah aroma durian. Begitu nikmat menyentuh lidah bahkan begitu terasa hingga menyentuh kerongkongan. Cita rasa yang dihasilkannya mampu mengeluarkan air liur untuk membantu memasukkannya kekerongkongan dan memaksa tangan untuk menyendok sepotong lagi dari atas piring. Lagi dan lagi hingga tak terasa beberapa pisang yang disajikan di atas piring pun habis.

Dahulu, gerobak-gerobak pisang epe, minuman, hingga makanan berat seperti nasi goreng, soto ayam, gado-gado dan menu lainnya memang berjejer disini. Sepanjang pantai losari menjadi tempat “berpesta” para pedagang kaki lima. Tetapi itu hanyalah nostalgia masa lalu. Alih-alih memperbaiki citra, tahun 2005 para PKL dilokalisasikan di sebuah tempat yang disebut Laguna.

Namun lokasi baru itu rupanya tidak menjanjikan, beberapa pedagang terpaksa pindah dan mencoba mencari keberuntungan di tempat lain. Bahkan beberapa pedagang pisang epe yang tak lagi betah di Laguna, mencoba mendorong gerobaknya kembali mendiami suatu sudut tak jauh dari anjungan utama. Daeng Sollong adalah salah satunya.

Daeng Sollong

Pria baya itu mengulas senyuman ketika saya hendak membeli dua piring pisang epe untuk teman dan adik sepupu saya. Bibirnya tertarik kesamping atas hingga memperlihatkan giginya yang telah habis. Ia menggenakan baju kaus berkerah dengan motif garis-garis dan kepalanya ditutupi sebuah songkok haji.

“Berapa kita pesan nak?”

Sekali lagi ia bertanya pesananku dan mendekatkan kepalanya. Saya maklum ketika ia menunjukkan telinganya, rupanya di usianya seperti saat ini indera pendengarannya tak lagi normal.

“Pakai keju?” Tanyanya lagi.

“Satu ji pakai keju Pak!” Jawabku sambil mengacungkan jari telunjuk dan menggelengkan kepala.

daeng-sollong

Sejak 30 Tahun Lalu

Daeng Sollong mengaku telah menggeluti pekerjaan menjajakan pisang epe sejak 30 tahun yang lalu. Sekitar tahun 1977 dia adalah penduduk yang bermigrasi dari Galesong, Takalar. Iming-iming hidup yang jauh lebih mapan dengan tinggal di kota, menariknya untuk meninggalkan desa. Pada masa itu, usianya masih muda.

Kebijakan walikota kala itu dengan membagikan gerobak sebagai modal usaha rupanya berimbas kepada Daeng Sollong. Ia mendapatkan satu gerobak dan memulai usaha pisang epe. Awalnya ia hanya menjual pisang epe yang disiram dengan gula merah saja tetapi seiring bergulirnya waktu, ia pun mulai mencoba menyajikan pisang epenya dengan variasi keju.Sepiring yang berisi empat buah pisang epe dan keju dia beri harga lima ribu rupiah.

Beliau sempat mengeluh ketika saya menanyakan usia gerobaknya. Baginya, pemerintah hari ini berbeda dengan pemerintah di masa yang lalu. Sekitar 30 tahun yang lalu ia mendapatkan gerobak ini sebagai hadiah dari walikota untuk memulai usahanya. Bahkan dengan bangganya ia menunjukkan namanya yang tertera di gerobak tersebut. Katanya, pembagian gerobak diikuti dengan pemberian identitas pada gerobak masing-masing. Tetapi kini menurutnya, walikota hanya tau memindahkan mereka. Beliau ikut berpindah ke metro tanjung bunga kemudian berpindah lagi di Laguna, tetapi gerobaknya kembali ia dorong untuk keluar karena minimnya pembeli di dalam sana.

Tanpa terasa percakapan kami terus berlanjut. Batas atas penjual dan pembeli seketika itu hilang, berganti menjadi bapak yang bercerita pada anaknya. Sambil mengipas-ngipas pisang di atas pembakaran, beliau terus mengajak saya bercerita dengan Bahasa Makassar. Sesekali ia tersenyum, mengembangkan pipinya ke samping dan memperlihatkan gusinya yang tanpa gigi.

Beliau mengaku, hampir semua penjual pisang epe yang berjualan di sekitar pantai losari adalah muridnya. Murid-murid yang diajarnya cara untuk membuat dan menjual penganan khas Makassar ini. Mereka tinggal di jalan rajawali, tak jauh dari jalan metro tanjung bunga. Disana, ada seseorang yang sengaja menyuplai pisang untuk bahan jualan Daeng Sollong.

Bapak dari satu anak itu pun menyambung cerita tentang beraneka ragam pelanggannya. Mulai dari tentara, polisi, dokter hingga anak sekolah. Banyaknya pembeli pisang epenya kerap menimbulkan iri di kalangan penjual pisang epe yang lain. Tetapi dengan bijak beliau berkata bahwa semua punya jalan rezekinya masing-masing. Hari ini ia bisa mendapatkan rejeki yang banyak tetapi mungkin besok tidak demikian halnya.

Katte nak, yang penting ikhlas ki kerja, niak ton ji itu rejeki na. (Kalau saya nak, yang penting kerja dengan ikhlas, rejeki akan datang dengan sendirinya)”

Tidakkah keikhlasan di kota ini telah menjadi barang mewah? Banyak masyarakat kota yang lebih dahulu bertanya imbalan lalu bekerja, kontras dengan pernyataan Daeng Sollong.

Membahas tentang rejeki beliau pun melanjutkan ceritanya tentang seseorang di kampungnya yang harus membayar 30 juta untuk masuk kepolisian. Sayang, orang tersebut tidak di terima. Menurut Daeng Sollong, karena orang tersebut sekke atau pelit bersedekah maka rejekinya pun tidak terbuka.

Punna niak rejeki ta, ingat tongi bagi-bagi ki nak . (Kalau ada rejeki, selalu ingat untuk membagikannya nak”

Ia pun menambahkan bahwa walaupun penghasilannya tidak terlalu banyak, ia tidak pernah lupa membagikan sedekah kepada orang-orang disekitar rumahnya. Menurutnya, di sekitar tempat tinggalnya, banyak keluarga yang jauh lebih tidak beruntung dari pada dirinya. Seketika itu hati saya miris mendengar pernyataannya, ada yang mengetuk-ngetuk hati nurani. Saya pernah bertanya, masih adakah kepedulian di kota ini? Dan seorang Daeng Sollong yang menjawabnya, yah masih ada.

Semburat jingga yang tadi menghiasi kaki langit kini telah tertutupi selimut hitam. Sudah waktunya saya untuk kembali ke rumah. Maksud Daeng Sollong untuk mengantarkan jualannya pada pembelinya pun turut mengakhiri pembicaraan kami.

Seringkali, orang seperti Daeng Sollong dilupakan dalam suatu perencanaan kota dengan anggapan bahwa tingkat pendidikannya yang rendah sehingga tidak dapat diajak berwicakap. Lagipula, waktu mereka banyak dihabiskan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Padahal sebetulnya mereka memiliki kearifan tersendiri yang sering di luar dugaan kalangan yang mengatakan dirinya berpendidikan. Kita sering kali justru lebih banyak belajar dari mereka.

Hari itu, bisa jadi saya berpisah dengan Daeng Sollong, tetapi suatu hari nanti saya ingin kembali dan menjadi pendengar setia untuk kisah-kisah bijaknya sambil menikmati pisang epe buatannya.

daengsollong-dan-pembeli