Aku meletakkan kameraku di meja cafe, tempatku foto hari ini. Kuregangkan sedikit leher dan pundak yang mulai pegal. Lalu mencuci tangan. Dan lanjut menikmati makanan yang sudah kufoto siang itu. Meski proses pemotretan membuat makanannya sudah dingin, tapi aku tetap menikmatinya.
Menjadi dewasa, membuat aktivitas makan siang bukanlah hal yang sakral lagi. Kadang terburu-buru, kadang makan yang ada saja.
“Bagaimana rasanya?” tanya pemilik cafe padaku
“Enak, teksturnya al dente dan rasanya pas” jawabku tersenyum sambil mengangkat jempol, lalu lanjut mengunyah makanan yang berasal dari Itali itu.
“Apa makanan paling enak yang pernah kamu makan?” tanyanya lagi. Sebagai seorang food photographer sekaligus food blogger, ini salah satu pertanyaan yang paling sering ditanyakan padaku. Profesi ini membuatku bisa menikmati makanan dari bahan-bahan terbaik di Nusantara bahkan di dunia. Namun, untuk pertanyaan ini, jawabanku tidak pernah berubah.
“Makanan yang disuapkan pakai tangan ibuku, terutama pallumara buatannya” jawabku sumringah.
Makan Siang Istimewa
Makan siang buatan ibuku tidak pernah mewah. Dibangun dari ekonomi menengah ke bawah, ibu tak punya banyak pilihan bahan makanan. Jangankan ojek online yang menyediakan berbagai pilihan makanan seperti saat ini, penjual makanan siap saji pun masih terbilang jarang. Hanya restoran tertentu yang menyediakannya dan tentu harganya mahal. Sebagai kaum mendang-mending, masak sendiri adalah satu-satunya pilihan.
Namun, disitulah letak keistimewaannya. Ada proses penyaluran cinta saat ibu bekreasi di dapur. Masakan-masakan ibu terekam kuat di memoriku hingga kini. Apapun yang beliau sajikan, selalu terasa nikmat.
Sepulang sekolah yang melelahkan dan perut keroncongan, makan siang adalah hal yang pertama dicari. Di atas meja makan yang dapat kulihat dari pintu rumah kontrakan kami, tampak tudung saji berbahan plastik berwarna merah. Saat aku mengangkat tudung saji itu, makan siang telah Ibu siapkan.
Hari itu, tidak ada ikan goreng favoritku. Tidak ada minyak untu menggoreng, kata ibu. Hanya ada nasi, ikan masak berkuah kuning dan lawi-lawi di atas meja.
Aku menolak untuk memakannya. Namun ibu punya cara sendiri memaksaku untuk mencobanya. Disendokkannya nasi ke atas piring, ikan dan kuahnya serta makanan pendamping. Diambilnya sejumput nasi yang sudah tersiram kuah kuning, sedikit cubitan daging ikan dan lawi-lawi. Dengan tangan hangatnya disuapkannya makanan itu kepadaku dengan lembut. Ada getaran yang berbeda kurasakan, saat makanan itu menyentuh lidahku. Ikan masak yang tadinya tidak menarik dan bagiku akan amis, ternyata jadi makanan yang sangat lezat. Rasa gurih, asam, asin dan sedikit manis menyatu. Menciptakan sensasi menggairahkan di indera pengecapku. Ibu terus menyuapiku hingga nasi di piring enamel itu habis tak bersisa.
Sejak saat itu, ikan kuah kuning yang kami sebut pallumara jadi makan siang favoritku. Apalagi jika disuap langsung oleh ibu.
Pallumara
Pallumara, begitu kami di Makassar menyebutnya. Ikan masak berkuah kuning yang dapat ditemui di setiap rumah warga kota daeng. Ikan yang digunakan bisa beragam, mulai dari mairo, kakap, cakalang, bandeng dan lainnya. Selain pallumara, olahan ikan di kota ini sangatlah beragam. Seperti pallu kaloa, pallu cella, pallu kacci, pallu kesang dan banyak lagi.
Dari berbagai referensi terdapat perbedaan arti kata dari pallumara itu sendiri. Sebagian mempercayai bahwa kata pallumara berasal dari kata “pallu” yang berarti masak dan “mara” yang berarti asam. Referensi lain menyebutkan bahwa “mara” dari kata pallumara berasal dari kata “akmarak” yang dalam bahasa Makassar berarti kering.
Pemerhati kuliner mempercayai hal ini ada hubungannya dengan nenek moyang kami yang identik dengan kehidupan masyarakat pesisir. Kebiasaan melaut membuat mereka membuat bekal makanan yang dimasak sampai kering, asam dan asin serta penggunaan kunyit agar tahan lama saat melaut. Sebuah konsep pengawetan makanan tradisional namun masih digunakan hingga kini. Uniknya, pallumara semakin dipanaskan maka makin terasa nikmat. Oleh karenanya banyak ditemukan di menu makan siang. Karena jika tidak habis, bisa jadi menu makan malam.
Memang, ciri khas pallumara adalah kuah kuning dengan rasa gurih dan asam, lalu dimasak hingga kuah menyusut dan kaldu ikan tercipta. Meski penampakannya hampir mirip, namun setiap keluarga punya resepnya masing-masing.
Beberapa keluarga masa kini, yang banyak beredar di kanal maya, memasak pallumara dengan bumbu lebih banyak dan beragam hingga warnanya tampak menarik. Bawang merah dan bawang putih, perpaduan warna kuning dari kunyit, warna merah dari cabe dan tomat serta warna hijau dari daun bawang atau kemangi.
Tapi pallumara buatan ibuku sangatlah sederhana, hanya menggunakan bawang merah, asam, garam, merica, kunyit bubuk dan sedikit gula merah. Bawangnya pun tidak ditumis. Tanpa aromatik daun jeruk, kadang-kadang saja pakai sereh. Langsung dimasak sekaligus setelah ikan dibersihkan dan dibaluri air asam. Warnanya cenderung flat dalam kacamataku sebagai seorang fotografer. Tapi dalam memoriku sebagai anak, cita rasanya tak pernah tergantikan.
Pallumara biasanya disajikan dengan pendamping pengganti sayur. Yakni raccak mangga atau mangga muda yang dicacah tipis. Serta lawi-lawi yang dulu biasanya kusebut rumput laut, sensasi rasa asin dan teksturnya meledak di mulut memberikan pengalaman makan yang berbeda. Akhir-akhir ini baru kuketahui bahwa nama internasional lawi-lawi adalah green caviar atau sea grapes, salah satu bahan yang tinggi gizi dan banyak dicari orang asing. Padahal di kampungku, bahan ini bisa ditemukan di hampir semua penjual hasil laut dengan harga sangat terjangkau. Bahkan di beberapa warung disajikan gratis.
Cinta Kasih Seorang Ibu
Mungkin bagi sebagian orang, pallumara biasa saja. Hanya ikan berkuah kuning. Tapi bagi kami, itu adalah harta karun yang menyembunyikan cinta dan perhatian seorang ibu. Kandungan gizi dari ikan yang kaya akan protein, vitamin, asam lemak omega 3 membuat daya ingatku tajam. Berkat makanan sederhana yang penuh nutrisi itu, menjadikanku anak yang berprestasi di sekolah.
Selain dari cita rasanya, ritual kecil yang melekat dalam ingatanku adalah saat ibu menyuapi dengan tangannya apalagi ketika aku mulai malas makan.
Setiap suapan dipersiapkannya dengan hati-hati. Tulang ikan dipisahkan dengan telaten, nasi, kuah, sayur, dan potongan ikan dicampur jadi satu dalam jumputan kecil. Ketika ibu menyuapkan suapan itu ke mulutku, lelah dan penat sepulang sekolah seolah menghilang. Ada rasa hangat yang menjalar, bukan hanya dari makanan, tetapi dari cinta dan perhatian yang tak terucapkan melalui kata-kata. Ibu memang bukan tipe orang tua yang bisa mengungkapkan rasa sayangnya melalui kata. Tetapi act of service yang beliau berikan lebih dari sekedar bahasa.
Bagiku, makan siang adalah momen di mana tubuh kecilku diisi dengan nutrisi dan kasih sayang yang tulus. Ketika kuingat kembali, bukan hanya rasa masakannya yang paling mengesankan, tetapi kenangan yang melekat dalam setiap suapan dan waktu yang dikorbankan ibu untuk memasak untuk kami. Momen-momen itu adalah pengingat bahwa makan siang bukan hanya soal memenuhi kebutuhan fisik, tetapi juga memberi makan untuk jiwa yang lelah sepulang sekolah.
Pada akhirnya, aku sadar, makanan terbaik yang pernah kumakan adalah yang dibalut dengan cinta ibuku. Mungkin bukan yang paling mewah, bukan yang terbuat dari bahan-bahan terbaik, bukan yang penampakannya cantik dan menarik, bukan pula diolah dengan cara yang rumit. Tapi setiap suapan dan aromanya mengandung kenangan, perhatian, dan kehangatan yang tak tergantikan oleh makanan apa pun.
Memori yang ia ciptakan dalam setiap suapan, itulah yang membuat pallumara untuk makan siangku tak pernah terlupakan. Sampai hari ini, pallumara suapan ibu tetap jadi juaranya. Sayangnya, tak bisa kurasakan lagi, sejak covid merenggut ibuku.