Fenomena Apang Pella di Kota Makassar

Processed with VSCO with a4 preset

Beberapa hari lalu, saya menulis tentang Apang Pella. Kue yang tiba-tiba hits di Makassar. Rupanya postingan ini mendapat banyak respon. Bahkan menjadi postingan dengan insight tertinggi di awal tahun ini. Entah karena fotonya atau caption yang menyertainya. Bagaimanapun fenemona apang pella atau apang panas ini menyedot perhatian banyak orang. Hingga membuat saya tertarik membersihkan blog ini dan menulis tentangnya.

Apang Pella yang lagi Hype

Beberapa waktu terakhir, penjual apang tumbuh sporadis di Makassar. Berbeda dengan penjual kue kebanyakan, yang dijual adalah apang yang masih panas. Baru keluar dari kukusan. Pembeli ramai memadati. Hingga menginspirasi yang lain untuk menjual hal yang serupa. Penjual apang panas pun merajalela. Tidak hanya di selatan kota. Tetapi hadir hampir di seluruh sudut kota.

Lalu banyak yang bertanya. Mengapa kuliner ini tiba-tiba hits? Bukankah sebelumnya sudah banyak penjual kue yang menjual apang? Bukankah ini bukan makanan kekinian? Apa yang membuatnya tumbuh secara tersebar? Dan aneka pertanyaan lain.

Baca juga : Resep Sikaporo

apang pella winslicious

Kuliner Nostalgia

Kenapa apel atau apang pella ini langsung populer di Makassar dengan cepat? Orang beramai-ramai membeli. Ojek online padat mengantre. Pembeli rela menunggu hingga kukusan selesai.

Karena pada dasarnya lidah sebagian kita masih terlalu kuat akan romantisme. Kuliner bukan sekedar makan lalu kenyang. Tapi ada proses mengingatkan. Tentang kampung, tentang nenek, tentang ibu atau tentang kondisi yang dulu masih melekat di memori.

Apang pella atau apang panas ini mewakili itu semua. Mewakili kenangan yang tak terbeli oleh uang.

Apang yang lebih dulu dijual di penjual kue adalah apang yang telah dingin. Namun dalam nostalgia beberapa orang. Kenikmatan sebuah apang justru terletak pada kehangatannya. Saat disandingkan dengan teh atau kopi hangat. Didukung suasana pagi yang masih dingin. Memori itu yang masih melekat dan membuat orang ramai-ramai mencarinya. Sebagian orang memang bersentuhan langsung dengan ingatan itu. Beberapa lainnya hanya mendengar cerita dan tertarik merasakan kesyahduannya.

Baca Juga : Deppa Tori

Karena Penasaran

Pertumbuhan penjual Apang Pella didominasi banyaknya orang yang penasaran. Penasaran apakah yang dijual sama rasanya dengan ia makan dulu di kampung. Penasaran apakah yang dijual sama dengan buatan neneknya yang telah meninggal. Penasaran mendengar cerita nostalgia dari sang apang. Atau sekedar penasaran mengapa penjual apang ini begitu ramai.

Beberapa akan membeli lagi karena nostalgia kenikmatannya masih mengakar kuat. Mereka menemukan sepenggal kenangan yang dulu pernah ada. Beberapa lainnya akan membeli lagi karena suka akan kesederhanaan rasanya. Tawaran makanan kekinian tidak begitu nyaman di lidahnya.

Tapi beberapa konsumen mungkin tidak lagi kembali. Beberapa diantara mereka berkomentar: “Tidak sama rasanya yang di kampung”. “Oh begitu ji rasanya”. Dan komentar lain karena rasa kecewa atau penasarannya yang telah terbayar.

Processed with VSCO with a4 preset

Processed with VSCO with a4 preset

Tumbuh Sporadis

Kue dengan resep sederhana bisnis apang pella menjadi sangat mudah direplikasi. Bahan-bahan yang digunakan bisa kita jumpai dimana saja. Di pasar tradisional hingga swalayan modern. Alat yang digunakan pun tergolong mudah dan murah. Sebagian besar ada di rumah. Hal itu membuat cost untuk membuat bisnis ini tergolong murah. Membuat penjual apang tumbuh seperti jamur di musim hujan.

Media sosial digenggaman pun ikut mengambil andil. Ramainya penjual apang di jalan daeng tata tersebar ke seluruh sudut kota. Penjual apang pella di BTP pun hadir dan membuat ojek online banyak mengantre. Di Borong penjual apang pella ini ikut meraup untung. Lalu diikuti lebih banyak penjual di titik yang lain karena iming-iming keuntungan.

Bisnis ini sangat mudah ditiru, bahkan bagi yang tidak pergi ke tempatnya langsung.

Baca Juga : Resep Kue Biji Nangka

Setiap Produk Akan Menemukan Marketnya

“Ketika Apang tersebut tidak menawarkan “kebaruan”, kira-kira akan bertahan berapa lama?”, Tanya kak Iqko pada saya, di sebuah diskusi kami tentang kue ini.

Pertanyaan yang menarik menurut saya. Tetapi, saya rasa pertanyaan yang tepat adalah seberapa lama penjual dadakan yang bertahan? Karena seperti halnya penganan tradisional lain, apang pella punya marketnya sendiri. Market spesifik seperti putu cangkir atau baroncong. Penganan itu tidak pernah menawarkan kebaruan tapi pembelinya selalu ada. Bahkan di beberapa tempat masih mengantre panjang.

Di masa banyak sekali pilihan seperti sekarang, beberapa orang mungkin akan bosan. Lalu mencoba kebaruan yang lain. Tetapi bagi lidah yang terlanjur paten dengan kenikmatan apang, akan terus mencari dan kembali. Disinilah market akan terseleksi. Sama halnya penjual yang akan terseleksi. Pedagang yang mengedepankan cita rasa, pelayanan dan konsisten yang akan terus bertahan. Belum tentu penjual yang lebih dulu mempopulerkannya. Bisa jadi yang hadir paling terakhir yang justru paling bertahan.

Baca Juga : Baroncong

Processed with VSCO with a4 preset

Processed with VSCO with a4 preset

Fenomena Apang Pella

Fenomena Apang Pella ini memang sangat menarik didiskusikan. Kehadirannya tidak hanya membuat kita kagum karena kue tradisional kembali mendapat panggung. Tetapi juga membuka mata kita tentang fenomena sosial, strategi marketing hingga kekuatan media sosial.

Nyatanya banyak diantara kita yang masih merindukan apang diantara kue kekinian. Betapa strategi marketing sekarang melaju sangat cepat. Lihatlah kekuatan sosial media mampu mempopulerkan banyak hal, bahkan yang sangat sederhana dan sepele. Dan ojek online, ikut andil menawarkan lebih banyak pilihan hanya dari handphone di genggaman.