Belajar Ketangguhan dan Kesungguhan dari Ibu Muslika

Ibu Muslika

“Keuntungan dan kerugian itu beda tipis, saat kita memulai usaha dan berharap untuk untung berarti dalam waktu yang sama kita juga harus siap untuk menerima resiko rugi” Ibu Muslika – owner Delly Sandra

Siang itu, panas begitu menyengat. Sambil menggendong Eci, saya turun dari mobil. Dia sedang ngambek dan menempel lebih kuat. Sebelum membawanya kesini, saya memang meninggalkannya di rumah bersama Ibu. Sepertinya dia sedang unjuk rasa. Dengan segala kerempongan, saya masuk ke sebuah ruko yang di depannya terdapat tulisan besar Delly Sandra. Banyak foto kue terpajang di dinding teras. Beberapa teman dari Bintang Muda sudah berada disana, ada yang sudah duduk dan lainnya masih berdiri. Hari itu kami melakukan kunjungan usaha sekaligus belajar dari Ibu Muslika.

Waktu telah menunjukkan pukul 3 sore, jadwal molor seperti biasa. Kak Yanti membuka kegiatan hari ini dan memperkenalkan owner Delly Sandra, Ibu Muslika. Beliau duduk tepat disamping Kak Yanti. Wajahnya teduh keibuan dengan senyum yang selalu tersungging, cara berpakaiannya sederhana namun terkesan rapi. Saya seperti pernah melihatnya, tapi entah dimana.

Ibu Muslika pun memulai kisahnya. Meski kadang menggunakan aksen ji, mi dan toh yang menjadi ciri khas dialek Makassar tapi medoknya tidak bisa menghilangkan identitasnya sebagai orang Jawa. Ceritanya berlompat-lompat tapi saya dapat mengambil hikmah tentang kesungguhan dan ketangguhannya.

Ketika ia bercerita bahwa dia memulai usaha karena harus menjadi tulang punggung keluarga ketika suaminya sakit, ingatan saya pun kembali sekitar 2 tahun yang lalu. Di sebuah acara Berani Jadi Miliuner yang ditayangkan Metro TV saya pernah mendengar kisah yang serupa. Kisah dari seorang pengusaha wanita yang berdomisili di Makassar. Ia menjadi salah satu dari 3 finalis asal Kota Makassar kala itu. Kisahnya membuat saya tersentuh apalagi ketika melihat video kondisi suaminya dan melihat beliau sedang video call dengan anak tertuanya. Tanpa sadar saya mengeluarkan air mata saat itu. Sebagai penonton, saya menjagokan beliau sebagai juara namun dewan juri berkata lain, meski demikian dia tetap menginspirasi. Rupanya, perasaan pernah melihatnya sebelumnya terjawab. Alhamdulillah, Tuhan menakdirkan saya bertemu langsung dengan sosok yang saya kagumi lewat layar kaca 2 tahun lalu.

Salah satu pegawai Delly Sandra

Ibu Muslika, owner Delly Sandra  (foto by Salma Salahuddin)

Sekitar 4 atau 5 tahun lalu, suami Ibu Muslika jatuh sakit. Tagihan rumah sakit yang jutaan bahkan puluhan juta membuatnya terpaksa menjual aset. Suaminya tidak mengenalnya dan tak mengenal anak-anaknya lagi, namun dengan penuh kesabaran Ibu Muslika tetap merawatnya. Akhirnya beliau memutuskan untuk merawat suaminya di rumah. Mendapat santunan 10 juta, tidak membuat Ibu Muslika membelanjakan dengan barang konsumtif meski sudah 7 bulan “berpuasa”, beliau membeli mikser roti meski belum tahu harus digunakan untuk apa, yang ia tahu mikser itu akan menghasilkan uang untuk membiaya sekolah anaknya. Dengan segala keberanian dan kesungguhannya beliau mendatangi prabik tepung lokal di Makassar, memohon agar diajarkan cara membuat roti. Berapa kali beliau ditolak karena untuk membuat kursus membuat roti dibutuhkan minimal 10 orang, namun hal itu tidak membuatnya patah arang. Ia terus datang ke manajemen produk tepung tersebut untuk meyakinkan bahwa dia memang sangat membutuhkan kursus itu. Harapan bersambut, melihat kesungguhannya manajemen memberikannya kursus private membuat roti tanpa bayaran sepeser pun di rumahnya yang kala itu lebih tepat disebut gudang.

Beliaupun memulai bisnisnya. Setelah memandikan suaminya, beliau lalu membuat roti lalu menjajakannya sendiri dari kantor ke kantor. Meski ditawar murah, beliau tetap memberikannya, yang ia tahu uangnya harus berputar untuk makan dan  biaya sekolah anaknya. Hingga akhirnya beliau memenangkan lomba wirausaha dan usahanya makin berkembang.

Bukan berarti bisnisnya berjalan lancar hingga hari ini, beliau bercerita pernah mengalami kerugian hingga puluhan juta. Hal itu tidak serta merta membuatnya menyalahkan pegawainya yang sudah belasan kala itu, tetapi beliau mengevaluasi diri, mengevaluasi manajemen bisnisnya dan mengevaluasi proses produksi. Bisnis yang nyaris bangkrut tidak membuatnya berpangku tangan, beliau bangkit dan memperlihatkan ketangguhan sekali lagi. Dengan mendatangi Pertamina, beliau berharap usahanya bisa kembali bangkit. Dan sekali lagi Ibu Muslika membuktikan kesungguhannya membuat ia menjadi mungkin satu-satunya UKM yang di survey sehari setelah memasukkan proposal ke perusahan tersebut, bahkan hanya dalam hitungan hari dana pun cair.

Mendengar kisah Ibu Malika

Ibu Muslika, owner Delly Sandra  (foto by Salma Salahuddin)

“Kita harus yakin dengan diri kita sendiri, mengenal diri kita. Apa kekurangan kita, apa kelebihan kita. Dengan mengetahui kekurangan kita, kita bisa memenej lebih gampang.”

Berulang kali ibu Muslika menekankan tentang pentingnya mengenal kepribadian sebelum terjun ke dunia bisnis. Ibu yang memiliki kelebihan mudah mengenali orang ini mengakui kekurangannya yang terkadang blak-blakan dan terlalu berani. Tetapi beliau memaksimalkan kemampuannya yang mudah berkomunikasi pada siapa saja dan meminimalkan kekurangannya. Ia sering mengajak kostumernya untuk bercerita, entah itu bertanya dari mana, tinggal dimana, kegemerannya apa dan pertanyaan lain yang begitu mengalir hingga membuat pembeli merasa terlayani dengan baik bahkan membangun chemistry dengan dirinya. Karena kelebihan itu pulalah beliau lebih menikmati penjualan langsung dibandingkan berjualan online.

Hari ini, usaha Ibu Muslika telah diakui di kota ini. Meski masih terbilang baru dalam dunia bisnis bakery namun Ibu Muslika dengan Delly Sandra -nya telah dikontrak menyediakan konsumsi rapat untuk 4 perusahaan besar yang berada di Kota Makassar, perusahaan-perusahaan yang selalu meeting setiap hari. Dengan tangan dinginnya, beliau berharap bisnis ini akan semakin besar bahkan menjadi warisan berharga untuk anak-anaknya nanti.

Hari itu saya sangat bersyukur dapat berjumpa dan bersua dengan beliau dengan segala inspirasinya. Beberapa kali saya mencium kening Eci saat mendengar ceritanya berharap saya bisa melakukan terbaik untuk masa depan Eci kelak. Beberapa kali saya tak sanggup menahan untuk tidak mengeluarkan air mata kala mendengar ceritanya yang penuh jatuh dan bangun, bukan hanya karena terharu tetapi juga karena malu. Yah, malu karena apa yang saya alami belum ada apa-apanya dibandingkan Ibu Muslika namun beliau masih bisa bangkit dan menunjukkan bahwa dia memang wanita yang tangguh.